Sabtu

CERPEN "KETUPAT LEBARAN"

Oleh: Lumaksono


“Apa? Dibuang? Jangan, jangan kau buang!”
Tetapi gerakan istriku tak tercegah, dengan cekatan dan pasti, tangannya mulai memindahkan ketupat yang tergantung di dapur ke dalam tas plastik hitam. Kata-kataku tak lagi digubrisnya. Dengan menahan nafas dan wajah yang dijauhkan untuk menghindarkan hidungnya dari isi bungkusan, ia ikat kuat-kuat kedua ujungnya. Terlihat raut mukanya yang jengkel. Sambil memastikan kalau ikatannya telah kuat dan tak mungkin menebarkan lagi bau menyengat, ia tenteng tas plastik yang kelihatan berat itu ke luar rumah.

“Tolong jangan dibuang!” sekali lagi aku memohon. Bahkan kali ini dengan suara yang aku buat sememelas mungkin. Aku masih berharap agar istriku tak membuangnya. Aku kerahkan segala kemampuan, termasuk merayunya dengan pandangan mataku yang menghujam ke bola matanya. Seperti dulu ketika aku meluluhkan hatinya untuk menerima cintaku.

Tetapi kali ini agaknya segala usahaku tak membuahkan hasil. Bahkan istriku sepertinya sengaja tak mau menatap mataku. Dengan masih berpaling ia menjawab, “Apa sih enaknya ketupat? Sampai kau tak lagi kasihan kepadaku? Kepalaku pusing tiap mencium baunya! Bahkan hanya dengan melihatnya perutku langsung mual!”

“Mana mungkin bau! Bukankah ketupat itu masih baru?”

“Bukan bau busuk, tetapi aroma ketupat ini yang membuatku pusing!” istriku berkata dengan nada marah.

Tak lagi mempedulikan aku, ia langsung bawa bungkusan itu ke tempat sampah di balik pagar depan rumah. Seakan tak mau lagi berlama-lama dekat dengan bungkusan ketupat itu, ia lemparkan saja dari kejauhan. Suaranya berdebum menimpa tumpukan sampah yang telah lebih dulu ada. Sementara aku hanya bisa menelan ludah, hilang sudah harapanku untuk menikmati ketupat sepuasnya, padahal baru sekali aku menikmatinya, pagi tadi usai sholat Ied.

Entah apa yang terjadi dengan istriku kali ini hingga ia bersikap demikian. Aku tahu kalau selama ini ia memang tak suka dengan ketupat, tetapi selama lima tahun aku hidup bersama, belum pernah aku melihat ia begitu benci dengan jenis makanan yang satu ini. Makanan yang menjadi kesukaanku setiap lebaran tiba. Bagiku tidak pantas disebut lebaran jika tanpa ketupat. Oleh sebab itulah, sebagai tanda cintanya kepadaku, walaupun ia tak pernah menyentuhnya, istriku tetap menyediakan ketupat saat lebaran. Meskipun itu hasil membeli. Hanya sekali ia pernah membuatnya khusus untukku, di tahun pertama pernikahan kami.

Walaupun belum dikaruniai anak setelah lima tahun lebih menikah, kehidupan kami baik-baik saja. Ia begitu pengertian, selalu berusaha memenuhi segala yang menjadi kesukaanku. Ia juga tidak banyak menuntut. Tak pernah ia meminta yang macam-macam. Baru kali ini aku melihat istriku marah. Sampai aku tak tahu harus berbuat apa.

Aku pandangi makanan kesukanku yang teronggok di tempat sampah. Terbersit rasa di hati untuk mengambilnya kembali. Aku tak dapat menerima tindakan istriku yang membuang makanan seenaknya. Apalagi itu adalah makanan kesukaanku. Bukankah untuk menghilangkan aromanya cukup dengan membungkusnya rapat-rapat? Bukankah ada tindakan yang lebih baik daripada harus membuangnya? Apa ia tak tahu bahwa diluar sana masih banyak orang yang harus mempertaruhkan nyawa dan kehormatan hanya demi sesuap nasi? Apa ia tak tahu bahwa dengan membuang makanan berarti telah melukai perasaan mereka? Makanan seperti ini tentu sangat berarti bagi mereka!

Kulihat istriku telah menghilang ke dalam rumah. Segera saja aku bersijingkat ke luar pagar mendekati tempat sampah. Sebelum beraksi, aku pastikan dulu bahwa keadaan benar-benar aman. Tak ada satu pun orang yang melihat. Untunglah, keadaan kompleks perumahan kami memang sepi saat lebaran seperti ini. Sebagian besar warga pulang kampong ke daerah asal masing-masing. Yang lain menghabiskan lebaran di hari pertama dengan mengunjungi orang tua dan sanak saudara mereka, dan biasanya sore hari baru mereka kembali. Aku sendiri tidak betah berlama-lama di rumah orang tua atau pun saudara.

Ternyata, segala sesuatunya tak semudah yang aku bayangkan. Setelah ketupat aku ambil lagi, aku dihadapkan pada satu pertanyaan, dimana aku akan menyimpannya? Di tempatnya semula jelas tidaklah mungkin karena istriku pasti akan segera tahu. Kalau harus disembunyikan, dimana? Dalam kebingunganku, aku mencoba untuk mereka-reka apa penyebab istriku begitu benci pada ketupat ini padahal biasanya tidak demikian.

Apakah benar ia tidak tahan dengan baunya? Atau ia cemburu terhadap orang yang memberi ketupat ini? Cemburu kepada Herningsih, muridku yang baru kelas dua SMP? Tetapi rasanya tidak. Istriku bukanlah tipe pencemburu. Ataukah mungkin ia mencurigai kalau ketupat itu adalah bentuk suap, agar aku memberikan nilai yang tinggi? Dan istriku tak ingin aku makan suap?

Mengenai dugaanku ini, istriku memang tak mengatakannya secara langsung, ia hanya menyindir saat muridku itu mengantarkan ketupat dengan opor ayamnya. “Kira-kira kalau kau tidak lagi menjadi gurunya, ia akan tetap mengirim makanan kesukaanmu atau tidak, ya?” begitu katanya.

Aku masih berdiri dekat pintu samping dengan menenteng tas plastik warna hitam yang berisi ketupat. Belum juga kutemukan jalan pasti hendak dikemanakan ketupat ini. Namun, secara perlahan, langkah kakiku membawaku ke gudang, ruangan yang jarang sekali disambangi istriku. Pikirku, pasti aman kalau kusimpan di situ, ia tak akan tahu. Sehingga aku pasti masih bisa menikmatinya nanti.

Tetapi, bukankah di gudang banyak tikusnya? Sering aku melihat tikus mondar-mandir keluar masuk gudang, kotoran mereka pun sering aku jumpai menumpuk di sudut. Tentu ketupat ini akan dijadikan pesta bagi bangsa pengerat itu. Tidak! Aku tak mau ketupat kesukaanku dijadikan sebagai ajang pesta pora si tikus binatang menjijikan. Kalau di tempat sampah tadi aku tak rela berbagi dengan anjing kurap atau kucing liar yang sering mengacak-acak tong sampah, maka aku lebih tak suka kalau ketupatku dimakan oleh tikus. Aku sama sekali tak mau mereka makan makanan yang sama denganku.

“Apa yang kau bawa, Pak?” suara istriku mengejutkanku. Mungkin jika aku bisa melihat wajahku sendiri, pastilah terlihat pucat karena tiba-tiba saja aliran darahku seakan terhenti. Sehingga aku tak bisa cepat menjawab. Sampai istriku bertanya lagi, “Kau ambil lagi ketupat itu?!”

“E..iya!” aku tak bisa berbohong. Padahal untuk memuluskan niatku, bisa saja aku berkata yang lain. Bisa saja aku katakan kalau ini a, b, atau c, selain jawaban ya! Sayangnya, itu semua bukanlah kebiasaanku. Selama ini aku usahakan tak berkata bohong, terutama kepada istriku, sebab sekali berbohong maka akan butuh kebohongan selanjutnya untuk terus menutupi kebohongan yang pertama.

“Lalu akan kau taruh di dapur lagi, agar aku pusing dan mual terus muntah-muntah mencium baunya, apa seperti itu maumu, Pak?” istriku berkata sewot.

“Tentu saja tidak! Aku hanya merasa sayang jika makanan yang masih bisa dimakan harus dibuang di tempat sampah menjadi makanan anjing dan kucing liar atau pun tikus! Sementara di luar sana banyak orang yang tak bisa makan!”

“Ah, alasan!”

“Aku memang mau mencicipinya sedikit lagi, selanjutnya ketupat ini akan kuberikan saja kepada orang yang mau! Bagaimana?”

“Cepatlah kau enyahkan ketupat sialan itu!”

Mendapat jawaban yang tak kusangka-sangka seperti ini, segera saja bungkusan ketupat itu aku bawa keluar lagi. Aku sama sekali tak ingin terjadi pertengkaran hanya gara-gara ketupat. Apalagi sekarang adalah hari lebaran. Aku mulai dihadapkan pada situasi sulit kembali, akan kuberikan siapa? Diberikan kepada tetangga, rasanya tak mungkin. Mereka rata-rata orang berpunya, mereka sama sekali tak kekurangan makan. Aku ingin memberikanya kepada yang betul-betul membutuhkan, sesuai tujuan semula. Atau kuberikan saja kepada pengemis yang datang. Tetapi, mana ada pengemis di hari lebaran? Harus menunggu berapa lama?

Lama aku biarkan ketupat tetap teronggok begitu saja. Belum kutemukan jalan keluar yang baik. Bahkan kini muncul pikiran untuk tetap membiarkan ketupat begitu saja, siapa tahu pusing istriku sudah berangsur hilang. Sehingga aku punya harapan untuk menikmati ketupat lebih banyak lagi, paling tidak hingga dua hari, seperti tahun-tahun berselang.

Takut keburu malam, akhirnya aku ambil sepeda motor dan kubawa bungkusan ketupat itu ke jembatan di sebelah barat kompleks perumahan kami. Akan aku berikan kepada tuna wisma yang sering kulihat ada di bawah jembatan itu. Tentu mereka akan senang menerimanya. Biar mereka merasakan berlebaran dengan makan ketupat. Mudah-mudahan saja mereka masih ada, tidak ikut mudik atau pergi ke mana pun. Kalau tidak, akan aku hanyutkan saja di sungai biar terbawa sampai ke laut. Aku lebih rela ketupat itu dimakan ikan-ikan daripada tikus dan anjing liar.

Sesampai di sana, aku dibuat tercengang! Bagaimana tidak, ternyata dari atas jembatan tempatku berdiri, terlihat mereka sedang menikmati ketupat! Makanan yang sama dengan makanan yang akan aku berikan, bahkan terlihat lebih enak ketupat mereka daripada ketupat yang aku bawa. Terlihat dari cara mereka melahapnya, terlihat dari keceriaan mereka.

Hatiku seperti tertohok menyaksikan hal ini. Walaupun mereka berpakaian kumal, walaupun badan mereka terlihat dekil, tetapi mereka dapat menikmati makanannya dengan sempurna. Seorang ayah, ibu dan dua orang anaknya yang masih kecil. Sesekali kulihat canda mereka, tawa renyah anak-anak mereka di sela-sela mengunyah makanan. Walaupun alas makanku lebih mahal dan bagus daripada yang mereka gunakan, tetapi jelas kalau kenikmatan yang dihasilkan lebih mereka rasakan.

Kini aku merasa kalau aku tak lebih baik dari mereka. Bahkan aku merasa yang perlu dikasihani bukannya mereka melainkan diriku. Mereka lebih berpunya daripada aku. Mereka punya kebahagiaan yang belum pernah aku rasakan.

Tak ingin berlama-lama menyaksikan kebahagiaan mereka yang hanya menerbitkan cemburu hatiku melihat anak-anak mereka bercanda, aku putuskan untuk membuang ketupatku saja. Segera aku jatuhkan, dan “byurr!” Bersamaan dengan itu, mereka serentak menoleh ke arah bungkusan dan ke arahku secara bergantian. Kulihat sorot mata mereka memancarkan harapan, dan wajahnya menyiratkan bahagia. Tetapi, bungkusanku tak terbawa arus! Ada semacam tali yang menahannya terbentang di permukaan air dari tepi ke tepi.

Cepat-cepat aku berlalu. tak kuhiraukan lagi bungkusan ketupatku. Aku tak mau tahu lagi apa yang terjadi dengannya. Matahari sore mengantarkan aku kembali. Sinarnya yang lembut kemerahan tampak indah menyentuh pucuk-pucuk daun.

Setiba di rumah aku disambut “oek-oek” istriku seperti muntah. Seketika perasaanku tak menentu. Antara kecewa karena tak bisa menikmati ketupat dan kasihan melihat kenyataan bahwa istriku tak main-main dengan pusing dan mual-mualnya. Kulihat istriku sedang membungkuk di kamar mandi berusaha mengeluarkan sesuatu lewat mulutnya. Tetapi semakin dikeluarkan dengan keras, semakin sulit saja rupanya. Yang tampak keluar hanya air ludah dan suaranya saja yang kian keras.

Segera saja timbul harapan di dada. Aku ingat cerita orang-orang tentang bagaimana keadaan perempuan yang tengah hamil muda. Aku ingat bahwa ramadhan ini istriku berpuasa sebulan penuh, tak seperti biasanya. Jadi, biarlah ketupatku hilang karena telah tergantikan oleh sesuatu yang aku nantikan selama lima tahun.



Tegal, September 2008
(dimuat di SINDO, 14 Sept. 08 dengan judul KETUPAT)

2 komentar:

  1. wis ora bada ouh pa lumak ganti judule

    BalasHapus
  2. pa,bener pa muji owh.....ws ra bada....ganti judule...................

    BalasHapus